Tuesday, December 23, 2008

Olahraga Menantang Minus Kompetisi

Monday, 22 December 2008

TELEVISI bisa menjadi pemicu buat seseorang untuk menggemari suatu hal. Dari sinilah muncul minat terhadap hobi, termasuk hobi berolahraga parkour. Hal tersebut dialami sekumpulan anak pencinta olahraga parkour.

Mereka mengaku terkesima dengan aksi akrobat para pemeran film Prancis berjudul Yamakasi. Fadli misalnya, sejak menonton film tersebut, jadi sering menghabiskan waktu menjelajah internet mencari teknik-teknik parkour dan mempraktikkannya sendiri di rumah. Serupa dengan Prabowo Sri Hayuningrat, 24, yang akrab disapa Bowo. Berbekal video tutorial parkour yang dilihatnya lewat internet, pria yang berprofesi sebagai video editor ini giat berlatih di rumah.

”Parkour olahraga yang menyenangkan sekaligus menguji mental,” ujar Bowo. Jadilah para atlet dadakan itu mendirikan Komunitas Parkour Jakarta.Komunitas yang dibentuk Juli 2007 ini mempunyai sekitar 30 anggota aktif. Satu minggu sekali mereka mengadakan latihan bersama di Gelanggang Sumantri Brojonegoro,Kuningan, Jakarta Selatan, atau Gelora Bung Karno,Senayan. Di Indonesia, selain Jakarta, parkour juga eksis di Kota Bandung, Malang, Surabaya, Purwokerto, dan Yogyakarta.

Menurut Fadli, parkour tidak terikat pada peraturan-peraturan formal. Yang berlaku hanyalah kemampuan improvisasi atau pengembangan diri.Yang menarik,parkour merupakan olahraga tanpa kompetisi. ”Sebab,kompetisi akan memunculkan persaingan dan bisa mencetuskan permusuhan,” kata Fadli. Karenanya,dalam parkour tidak ada julukan amatir atau profesional. Para praktisinya disebut traceur.Jika Fadli dan Bowo tertarik akan parkour karena menyukai filmnya, lain lagi dengan Arya Mularama.

Pria berusia 24 tahun ini mempunyai misi khusus bergabung di komunitas parkour. Rama, sapaan akrabnya, mengaku ingin menghancurkan lemak di tubuh. ”Parkour kan olahraga yang menuntut power besar. Semua otot terpakai dan harus gesit. Makanya, saya ikut sekalian untuk ngurusin badan,” papar pria yang berprofesi sebagai art director ini. Sementara anggota lain, Migo Nebukadnezar, justru berharap, dengan mengikuti parkour dapat mengurangi kebiasaannya merokok.

”Supaya napas tetap kuat selama latihan, tentunya saya harus ngurangin jatah ngerokok,” sebut Migo. Pada awalnya, Bowo mengira parkour adalah olahraga ekstrem yang menantang keberanian belaka.Tanpa berpikir panjang, lulusan D3 Jurusan Broadcasting Universitas Indonesia ini nekat melakukan gerakan di luar kemampuannya, hanya dengan modal nekat. Bowo melompatdariketinggian tiga meter, padahal dia buta sama sekali tentang cara melompat serta landing yang benar.

”Hasilnya, selama satu bulan saya enggak bisa jalan,” cerita pria yang tinggal di daerah Kelapa Dua, Depok. Olahraga ini membutuhkan teknik-teknik yang matang dan penuh pertimbangan. Karenanya,bagi anggota baru, bakal dibiasakan dulu dengan gerakan–gerakan yang mengutamakan kekuatan serta keseimbangan tubuh. Tujuannya agar tubuh mereka terbiasa dengan berbagai gerakan parkour yang memang bertumpu pada dua gerakan tersebut.

Setelah itu, barulah mereka diajarkan teknik-teknik dasar parkour. ”Jadi prosesnya bertahap dan menunjukkan peningkatandarisatugerakanke gerakan lain,”kata Bowo. Kalau sekadar lutut cedera, tubuh lecet-lecet, pergelangan kaki bengkak, ataupun tulang kering membiru gara-gara membentur tiang, itu sudah menjadi hal biasa bagi para traceur. ”Awal pertama latihan pasti otot-otot pegal semua. Namun, lama-lama juga hilang,” ujar Rama.

Selain melatih gerakan,kesempatan latihan juga digunakan sebagai ajang berbagi tips sekaligus praktik kombinasi gerakan yang diciptakan para traceur. Fadli misalnya, memodifikasi gerakan tic tacatau menendang ke arah tembok hingga berputar 360 derajat. Sementara traceur lain mencoba memadukan gerakan tic tac yang dilanjutkan dengan cat leap.

Dan jika dalam teknik vault hanya diajarkan melompat dan bertumpu pada kedua tangan sebanyak satu kali,komunitas ini mengenalkan double kong atau bertumpu pada kedua tangan sebanyak dua kali.(sri noviarni)

Source: Koran Sindo
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/198032/

No comments: